Salah satu kebiasaan Khalifah Umar bin Khatab adalah berkeliling ke berbagai pelosok Madinah untuk mengetahui kondisi rakyatnya secara nyata. Dan malam itu, Umar mendengar sebuah bait ‘aneh’ yang disenandungkan seorang wanita.
“Adakah jalan untuk minuman keras
Dan aku akan meminumnya
Atau adakah jalan kepada Nashr bin Hajjaj?”
Dan aku akan meminumnya
Atau adakah jalan kepada Nashr bin Hajjaj?”
Umar bertanya-tanya. Siapakah Nashr bin Hajjaj yang disebut wanita itu? Setelah mendapat informasi dari pembantunya, Umar kemudian memanggil laki-laki tersebut. Ternyata Nashr bin Hajjaj memang tampan. Sangat tampan. Itukah yang membuat sejumlah wanita tergila-gila padanya?
Amirul mukminin kemudian memerintahkan agar rambut Nashr bin Hajjaj dipotong. Hasilnya? Nashr justru semakin tampan. Lalu Umar menyuruhnya memakai ikat kepala. Nashr justru lebih tampan lagi. Akhirnya, demi kebaikan Nashr, Umar memerintahkannya bergabung menjadi tentara di Bashrah.
Waktu berlalu dan Umar tetap rajin melihat rakyatnya dari dekat, di malam hari. Kali itu, sahabat bergelar Al Faruq tersebut mendengar perbincangan sejumlah wanita. Rupanya mereka tengah membicarakan laki-laki yang tampan. Dan kesimpulan mereka, yang paling tampan diantara laki-laki Madinah adalah Abu Dzuaib.
Esuknya, Umar memanggil Abu Dzuaib. Ternyata benar, ia sangat tampan. Umar pun menyuruhnya agar rambutnya dipotong. Sama seperti Nashr, Abu Dzuaib juga semakin tampan dengan model rambutnya yang baru itu. “Wahai Amirul mukminin,” kata Abu Dzuaib yang mengerti maksud Umar bin Khattab, “ jika aku harus berangkat, susulkan aku pada sepupuku.” Ya, Abu Dzuaib adalah sepupu Nashr bin Hajjaj. Lalu ia pun menyusul sepupunya itu, menjadi tentara Islam di Bashrah.
Bukan tanpa alasan Umar memerintahkan keduanya pergi menjadi tentara. Umar baru saja menyelamatkan mereka dari fitnah wanita dan menggabungkan mereka dengan barisan calon syuhada. Umar juga berupaya menyelamatkan para muslimah dari godaan jiwa dan fitnah pandangan mata. Sebab Umar paham betul, beruntunglah orang-prang yang menyucikan jiwanya dan merugilah orang-orang yang menodainya. Sucinya hati dan bersihnya jiwa, sesungguhnya bisa terlihat tanda-tandanya dari gelagat sikap dan kata-kata. Seperti kata Aa Gym, teko hanya mengeluarkan isinya.
Umar paham betul, saat muslimah sibuk dengan perbincangan ketampanan laki-laki, sesungguhnya hati mereka yang semestinya mulia dengan dzikir dan kalam Ilahi, terjatuh pada nafsu hewani yang hanya mementingkan fisik dan rupa semata. Dan bukankah zinanya mata adalah melihat, dan zinanya hati dimulai ketika nafsu menguasai?
Ketika pembicaraan itu berulang, mendarah daging menjadi kebiasaan, maka hatinya juga mulai gersang. Gersang dari sentuhan Ilahiyah. Gersang dari nikmatnya ibadah. Jiwa yang mulai membayangkan, hati yang mulai berimajinasi, sesungguhnya adalah awal dari kehancuran. Kedamaian dan kebahagiaan menjadi sulit didapatkan.
Masalahnya adalah, hari ini lebih banyak wanita yang disibukkan dengan lebih banyak Nashr dan Abu Dhubaib baru. Bahkan jika Nashr dan Abu Dhubaib adalah pemuda muslim yang kemudian menjadi mujahid, kadang muslimah di zaman sekarang mengagumi dan mengidolakan artis dan selebritis non muslim. Yang belum menikah kadang tampak histeris saat berjumpa artis idolanya. Yang sudah menikah masih juga membicarakan dan membayangkan mereka, padahal suaminya jauh lebih mulia.
Tapi itulah tantangan muslimah di masa kini. Dan hanya muslimah berjiwa Umar saja yang berani mengusir wajah-wajah tampan yang bukan haknya, dari kehidupan dan imajinasinya. Hanya muslimah berjiwa Umar saja yang berani berhenti mulai saat ini juga, dari pembicaraan yang tiada manfaatnya dan hanya membuat jatuh jiwa sucinya.
0 komentar:
Posting Komentar